Warsito P. Taruno: Ilmuwan Indonesia Penemu Teknologi ECTV dan Pencipta Alat Pembasmi Kanker

4:27 AM

Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok pria bernama lengkap Warsito Purwo Taruno. Beliau adalah penemu teknologi ECTV dan pencipta alat pembasmi kanker.

Perlu diketahui, kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian

Kanker dapat menimpa semua orang, pada setiap bagian tubuh, dan pada semua gologan umur, namun lebih sering menimpa orang yang berusia 40 tahun.

Umumnya sebelum kanker meluas atau merusak jaringan di sekitarnya, penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Bila sudah ada keluhan atau gejala, biasanya penyakitnya sudah lanjut.(sumber: yayasankankerindonesia.org)

Sedangkan Teknologi ECTV (Electrical capacitance volume tomography) adalah sistem pemindai berbasis medan listrik statis yang mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik.

ECVT pada dasarnya mirip dengan USG / CT Scan dan MRI yang banyak digunakan di dunia medis namun memiliki kelebihan-kelebihan yaitu alat tersebut bersifat mobile (bisa di bawa ke mana saja, dan pasien tidak harus dalam posisi "terkunci"), mampu mendeteksi bagian dalam otak bukan hanya permukaan otak saja, dan hasil pemeriksaannya pun berupa real time (hasil gambar merupakan kerja otak saat itu)

Untuk lebih jelasnya bisa disimak artikel dibawah ini, mulai dari latar belakang Dr Warsito, penemuan-penemuannya, penghargaan serta pelajaran hidup yang bisa kita ambil.

Latar Belakang Dr. Warsito Purwo Taruno

Informasi ini saya ambil dari wikipedia dan diedit seperlunya.

Dr. Warsito Purwo Taruno (lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967; umur 51 tahun) adalah ilmuwan Indonesia.

Sama seperti anak desa pada umumnya, Warsito menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain di sawah dan memelihara ternak.

Meski demikian, anak keenam dari delapan bersaudara ini termasuk siswa yang cemerlang.

Dia gemar membaca buku apa saja tanpa mengenal waktu dan tempat.

Kecerdasan Warsito juga tidak bisa dilepaskan dari peranan kedua orang tuanya.

Sang ayah selalu mendorongnya untuk selalu maju.

Sedangkan ibunya selalu memotivasi agar melakukan segala sesuatu pekerjaan dengan dasar ketulusan dan ketabahan.

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Karanganyar, Solo pada tahun 1986, Warsito muda melanjutkan sekolah ke Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM).

Namun pada semester pertama karena mendapatkan beasiswa, untuk belajar di Jepang.

Setelah belajar bahasa Jepang di Tokyo International Japanese School, Tokyo, tamat tahun 1988. Ia melanjutkan studi ke jenjang S-1 di Shizuoka University jurusan Chemical Engineering, lulus tahun 1992.

Masih di universitas yang sama, Warsito kemudian meraih gelar M. Eng. tahun 1994 dan gelar D. Eng. (Ph.D) tahun 1997.

Di universitas tersebut, Warsito pernah menjadi staf peneliti dan asisten dosen selama 2 tahun. Saat menyelesaikan tugas akhir S-1, tahun 1991, Dr. Warsito mulai tertarik dengan sebuah riset tentang menembus pandang sebuah objek (sekarang disebut tomografi).

Ketika itu, peraih Achmad Bakrie Award 2009 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari baja atau objek yang opaque (tak tembus cahaya).

Dia melakukan riset itu di Laboratorium of Molecular Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo Uchida.

Setelah menyelesaikan pendidikan S-3, Dr. Warsito menghadiri sebuah konferensi di Belanda dan bertemu dengan seorang profesor dari Amerika Serikat yang kemudian mengajaknya melakukan riset di Amerika Serikat.

Pada tahun 1999, dia hijrah ke Amerika Serikat dan bekerja dengan Professor Liang-Shih Fan dari Ohio State University (OSU).

Keduanya bekerja sama di laboratorium Industrial Research Consortium milik OSU dan mengembangkan riset tomografi volumetrik.

Di tengah kesibukan melakukan riset bersama 15 ilmuwan lain di OSU, Dr. Warsito menulis beberapa artikel di sejumlah jurnal ilmiah bertaraf internasional.

Tak jarang, ia juga dipercaya menjadi pembicara utama dalam sejumlah forum ilmuwan dunia. Sepanjang tahun 2003-2006 itu, ia mencurahkan waktu dan tenaga melakukan riset di Amerika Serikat dan sesekali pulang ke Indonesia.

Penemuan Teknologi ECVT yang sudah digunakan Berbagai Lembaga Terkenal

Dr. Warsito kemudian mengembangkan Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) Edwar Technology, pusat riset dan produksi sistem tomografi 4D yang pertama di dunia, di sebuah ruko dua lantai yang berpusat di Tangerang, Banten.

Lantai pertama ruko itu dijadikan warnet dan lantai ke dua adalah labs.

Di ruko inilah, Dr Warsito bersama kawan-kawannya ingin mewujudkan cita-cita membangun institusi riset yang tidak kalah dengan institusi riset mana pun di dunia.

Dari tempat itu pulalah, lahir teknologi Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT).

Langkah Dr. Warsito sebagai peneliti sempat goyah karena hasil risetnya hilang tak berbekas. Komputer kerjanya hangus terbakar tersambar petir dan laptopnya pun tiba-tiba jebol.

Riset bertahun-tahun untuk menciptakan alat pemindai empat dimensi (4D) berbasis teknologi ECVT, hilang begitu saja.

Hal itu membuat Dr. Warsito menjadi stres dan bingung. Tetapi Dr. Warsito tidak mau terpuruk terlalu lama.

Ia membongkar arsip dan catatan risetnya mulai dari awal. Untuk mewujudkan impiannya kembali, ia membentuk satu tim ahli dari CTECH Labs.

Kerja keras Dr. Warsito akhirnya menuai hasil. Pada tahun 2004, risetnya selesai tapi masih dalam bentuk prototipe.

Meski begitu, temuannya segera menjadi incaran sejumlah perusahaan minyak terkemuka di Amerika Serikat dan lembaga antariksa NASA.

Sebab teknologi temuan Dr. Warsito mengungguli kemampuan CT Scan dan MRI. Teknologi pemindai 4D pertama di dunia itu kemudian dipatenkan Dr. Warsito di Amerika Serikat pada lembaga paten internasional PTO/WO bernomor 60/664,026 tahun 2005 dan 60/760,529 tahun 2006.

Teknologi ECVT ciptaan Dr. Warsito itu kemudian menjadi berita utama di mana-mana.

Di antaranya, berita yang dirilis oleh Ohio State Research News pada 27 Maret 2006 dan kemudian dikutip oleh Science Daily (Amerika Serikat), Scenta (Inggris), Chemical Online, Electronics Weekly dan hampir seluruh media pemberitaan iptek di segala bidang dari energi, kedokteran, fisika, biologi, kimia, industri, elektronika hingga nano-teknologi dan antariksa di seluruh dunia.

Pada dasarnya, ECVT atau Electrical Capacitance Volume Tomography mirip dengan USG / CT Scan dan MRI yang banyak digunakan di dunia medis.

Namun tak seperti CT Scan dan MRI yang hanya digunakan untuk melihat apa yang terjadi di dalam tubuh manusia, ECVT jauh lebih canggih karena pasien tak perlu masuk ke dalam tabung seperti alat MRI yang cuma menampilkan gambar dua dimensi.

Sistem ECVT ini terdiri dari sistem sensor, sistem data akuisisi dan perangkat komputer untuk kontrol, rekonstruksi data dan display.

Dengan teknologi ini, pemindaian bisa dilakukan dari luar, tanpa menyentuh objek bahkan objek skala nano dan objek yang bergerak dengan kecepatan tinggi bisa terlihat.

Dalam pengembangannya, teknologi ECVT sudah diakui bahkan dipakai lembaga antariksa Amerika (NASA), Exxon Mobil, BP Oil, Shell (perusahaan), ConocoPhillips, Dow Chemical, Mitsubishi Kimia termasuk Departemen Energi AS (Morgantown National Laboratory).

Sedangkan di Indonesia sendiri, teknologi ini digunakan untuk pemindaian tabung gas bertekanan tinggi, seperti kendaraan berbahan bakar gas Bus Transjakarta.

Penemuan Alat Pembasmi Kanker

Alat terbaru yang sedang dikembangkan Dr. Warsito dan timnya adalah alat pembasmi kanker otak dan kanker payudara.

Alat yang berbasis teknologi ECVT itu terdiri dari empat perangkat yakni brain activity scanner, breast activity scanner, brain cancer electro capacitive therapy, dan breast cancer electro capacitive therapy.

Brain activity scanner dibuat Dr. Warsito sejak Juni 2010. Alat tersebut berfungsi mempelajari aktivitas otak manusia secara tiga dimensi. Bentuk alat tersebut mirip helm dengan puluhan lubang connector yang dihubungkan dengan sebuah stasiun data akuisisi yang tersambung dengan sebuah komputer.

Alat itu bisa mendeteksi ada tidaknya sel kanker di otak. Dengan alat itu, dokter juga bisa melihat seberapa parah kanker otak yang diderita pasien.

Sementara itu, breast activity scanner diciptakan pada September 2011 juga berfungsi mendeteksi adanya sel kanker di tubuh.

Selain dua alat tersebut, Dr. Warsito melengkapinya dengan membuat brain cancer electro capacitive therapy dan breast cancer electro capacitive therapy. Dua alat berbasis gelombang listrik statis dengan tenaga baterai itu terbukti dapat membunuh sel kanker hingga tuntas hanya dalam waktu dua bulan.

Setelah menggunakan alat ini, reaksi tubuh pasien mengeluarkan keringat bukti alat tersebut bekerja baik. Warsito telah membuktikan keampuhan alat ciptaannya kepada kakak perempuannya yang menderita kanker payudara stadium IV.

Dalam waktu beberapa bulan setelah pemakaian, hasil tes laboratorium menyatakan bahwa sang kakak dinyatakan bersih dari sel kanker yang hampir merenggut nyawa itu.

Untuk brain cancer electro capacitive therapy, Dr. Warsito mencoba mengenakannya kepada seorang pemuda berusia 21 tahun yang menderita penyakit kanker otak kecil (cerebellum). Kondisi pemuda itu sudah parah, lumpuh total dan tidak bisa menelan makanan atau minuman.

Dalam terapi ini, Dr. Warsito bekerja sama dengan tim dokter ahli radiologi dan onkologi dari sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Setelah seminggu pemakaian alat tersebut, pemuda itu sudah bisa bangun dari tempat tidur serta menggerakkan tangan dan kaki. Setelah dua bulan pemakaian, pemuda tersebut sudah dinyatakan sembuh total.

Meski sudah mendapatkan hasil yang luar biasa, Dr. Warsito mengakui bahwa alat yang sudah dipakai oleh pasien di Indonesia, India, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Eropa, China, dan Taiwan itu, masih dalam taraf penelitian yang perlu dielaborasi lebih jauh.

Di sisi lain, para onkolog atau dokter ahli kanker juga masih berhati-hati menyikapi temuan Dr. Warsito yang diklaim bisa menyembuhkan kanker payudara itu.

Penghargaan di Dunia Sains Indonesia

Berkat kerja keras dan peranannya dalam mengharumkan dunia sains Indonesia di mata internasional, Dr. Warsito sudah dianugerahi sejumlah penghargaan.

Ayah empat putra ini pernah menerima Achmad Bakrie Award 2009 ; terpilih menjadi salah satu dari “100 Tokoh Kebangkitan Indonesia” Versi Majalah Gatra tahun 2008 ; “10 Tokoh yang Mengubah Indonesia” versi majalah Tempo tahun 2006 ; Anugerah dari American Institute of Chemist Foundation Outstanding Post-doctoral Award tahun 2002.

Ia juga menjadi lulusan terbaik bidang kimia di Universitas Shizouka. Bahkan di awal kariernya pada 1985, Dr. Warsito sempat meraih Baiquni Award bidang sains dan matematika dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dr. Warsito juga termasuk dalam 16 ilmuwan Indonesia yang diberi kesempatan unjuk gigi di depan Douglas D. Osheroff, peraih Nobel Fisika 1996 yang berkunjung ke Indonesia. Demi memajukan dunia penelitian di Indonesia, Dr. Warsito ikut mendirikan organisasi bernama Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI).

Sejak tahun 2005, Dr. Warsito yang didaulat menjadi Ketua Umum MITI, telah membangun jaringan MITI di seluruh Indonesia dan luar negeri terutama MITI-Mahasiswa di lebih dari 50 kampus di 26 provinsi di seluruh Indonesia.

Program utama yang dilancarkan MITI adalah meningkatkan kualitas akademis dan kemampuan riset mahasiswa Indonesia dan pengembangan SDM mahasiswa Indonesia.

Kontroversi Penemuan yang Tidak Masuk Akal

Dibalik kesuksesan sebagai ilmuwan, ternyata terselip sebuah kontroversi yang membuat saya terkejut. Kasarnya penemuan Dr Warsito tidak diakui oleh pemerintah dengan alasan yang menurut saya tidak masuk akal.

Berikut cerita mengenai kontroversi yang saya dapat dari wartawan Republika Arif Supriyono.

Surat dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbang Kemenkes) itu bak palu godam. Melalui surat itu, Kemenkes meminta agar kota Tangerang menertibkan klinik riset kanker PT Edwar Technology milik Warsito Purwo Taruno.

Berdasarkan UU Kesehatan, teknologi dan produk teknologi harus melalui tahapan proses riset, yaitu uji coba hewan, uji diagnosis, dan studi kasus. Riset yang ditempuh Warsito dinggap tak melewati tahapan itu. Padahal, lewat izin Balitbang Kemenkes itulah Warsito mengawali riset alat temuannya berupa electro capacitance volume tomography (ECVT). 

Alat pembasmi kanker otak dan kanker payudara yang ditemukan Warsito pada 2009 itu memanfaatkan gelombang listrik pinggiran untuk membunuh sel-sel kanker. Alat ini sama sekali tak ada rujukannya karena memang asli buatan Warsito baru pertama dibuat manusia.

Sebelumnya pada 2004, Warsito yang lulusan Jepang --S1 dan S2 bidang teknik kimia serta S3 bidang elektro-- juga telah menemukan pemindai 4 dimensi yang kemampuannya melebihi CT scan (computerized tomography scan) dan MRI (magnetic resonance imaging). Alat temuan pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah 48 tahun lalu itu pun telah dipatenkan di Amerika Serikat.

Kedatangan surat Balitbang Kemenkes itu menjadi pukulan telak buat Warsito. Ia mengibaratkan, datangnya surat itu seperti seorang ayah yang mengusir anak sendiri. Warsito memang pantas bersedih. Betapa tidak, dari lembaga itulah dia menumpukan harapannya.

Dia pun tak mengindahkan suara sumbang para dokter yang menolak alat hasil temuannya. Nyatanya, lembaga/pemerintah yang diharapkan mendukung karya anak bangsa justru ikut menghalanginya.

Untunglah ada angin segar datang dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir. Ia berpendapat tak semestinya riset Warsito itu dimatikan. Ia akan mengupayakan agar riset tersebut bisa berjalan.

Seorang dokter ahli bedah kepala dari Universitas Airlangga, Sahudi Salim, juga mendukung temuan Warsito. Hasil riset untuk disertasi Sahudi baru-baru ini membuktikan, sel kanker itu bisa mati/terhambat setelah penderita menjalani terapi dengan alat tersebut. Syaratnya, tegangan pada alat itu harus 20 volt dengan frekuensi 100 kHz.

Sahudi menilai, dokter-dokter yang menolak temuan Warsito itu umumnya mendasarkan diri pada hal yang bersifat kasuistik. Ia menggambarkan, banyak kasus penderita kanker stadium 4 yang juga tak sembuh saat ditangani secara medis.

Meski ada beberapa kasus yang gagal, banyak pula penderita kanker stadium lanjut yang sembuh setelah menjalani terapi ECVT. Kakak perempuan Warsito yang menderita kanker payudara stadium 4 juga bisa disembuhkan.

Surat Balitbang Kemenkes itu memang menyedihkan. Itu sekaligus menunjukkan betapa rendahnya para petinggi di negeri ini menghargai karya anak bangsa. Ternyata bangsa ini belum memiliki kepercayaan diri yang tinggi sehingga selalu menganggap karya anak bangsa tak layak dikembangkan dan diandalkan.

Memang, jika alat temuan Warsito ini berkembang, akan banyak pihak yang terkena imbasnya. Perputaran roda bisnis alat-alat pembasmi kanker yang nilainya puluhan dan bahkan ratusan miliar rupiah pasti akan terganggu. Demikian pula dengan obat-obat penyembuh kanker yang harganya selangit --dan selama ini menjadi andalan dunia medis untuk mengobati penyakit yang membahayakan tersebut-- akan banyak yang tak terpakai.

Saya kira akan ada mata rantai panjang dalam dunia medis yang terpaksa harus diputus bila alat ECVT itu membawa hasil dan diakui dunia. Inilah salah satunya yang membuat banyak pihak yakin, bahwa upaya menghambat riset ECVT itu tak lepas dari jaring-jaring bisnis dunia medis.

Belum lagi tenaga ahli dan para dokter --yang selama ini telah menjalani pendidikan dengan biaya mahal dan sering kali harus dilakukan di luar negeri-- akan terganggu kerjanya. Andai kata alat ciptaan Warsito membawa hasil dan diakui dunia, para dokter ahli kanker itu mau tidak mau akan banyak yang diabaikan masyarakat atau pasien.

Kalau dengan menjalani terapi menggunakan alat ECVT ternyata bisa menyembuhkan kanker yang dideritanya, tentu masyarakat akan berpaling dan tak lagi memilih pengobatan dengan cara yang ada selama ini. Saat ini, pengobatan kanker selalu melalui cara operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Ketiganya menggunakan prinsip ilmu biokimia sebagai landasan ilmiah.

Adapun ECVT menggunakan prinsip dasar biofisika untuk penyembuhan penyakit kanker. Temuan itu mengagetkan dunia kedokteran karena tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat mungkin, itu pula yang membuat tingkat penolakan para dokter begitu tinggi terhadap alat temuan Warsito.

Bukan tak mungkin, para dokter yang ahli dalam mengobati kanker menjadi sia-sia lantaran pasien banyak lebih memilih terapi menggunakan ECVT. Ini merupakan imbas lain yang mungkin terjadi jika ECVT telah diakui dan menjadi pilihan masyarakat. 

Semestinya kita tak boleh menyerah dengan keadaan yang mungkin saja akan terjadi seperti ini. Sikap seperti inilah yang membuat bangsa ini tak akan pernah maju.

Semua perlu menyadari, hasil karya siapa pun pada awalnya tak akan pernah bisa berjalan sempurna. Usaha untuk mencapai kesempurnaan itu baru bisa dilakukan jika alat itu dipakai dan dibeli masyarakat. Keuntungan yang didapat dari hasil pembelian masyarakat itulah yang akan digunakan untuk melakukan pengembangan produk. Tanpa itu, mustahil sebuah produk bisa langsung unggul dari pelbagai segi jika dana yang ada terbatas.

Apalagi kalau melihat kenyataan yang ada, bahwa hampir semua alat-alat kesehatan yang ada di Indonesia merupakan produk asing. Dari seluruh alat kesehatan di negeri ini, hanya sekitar 5 persen yang diproduksi di dalam negeri. Semuanya praktis kita impor. Tentu kita tak ingin ketergantungan produk alat kesehatan (juga semua produk/komoditas lainnya) terus terjadi dan kian membesar.

Saya sungguh berangan-angan agar riset Warsito untuk alat terapi kankernya itu bisa terus berjalan. Sebaiknya, dalam riset itu, harus selalu ada tim dokter yang mendampingi dan memonitor setiap tahap atau perkembangan penting yang memang layak diamati atau dikontrol.

Bila kelak alat ini mendapat pengakuan serta memperoleh sertifikasi, sudah seharusnya pula tenaga medis atau dokterlah (yang telah mengikuti pendidikan/pelatihan) yang akan menjalankan atau mengoperasikannya. Warsito hanya akan berperan sebagai konsultan sekaligus pencipta alat. Dia tak boleh lagi membuka klinik terapi kanker tersebut karena pada dasarnya dia bukanlah dokter.

Perkenankan saya mengetuk kebesaran jiwa para petinggi di Kementerian Kesehatan untuk lebih berbicara menggunakan hati dalam melihat persoalan ini. Mari kita beramai-ramai mendukung Warsito Purwo Taruno supaya terus lahir orang-orang berkualitas seperti dia.

Bangsa ini punya potensi untuk menjadi besar. Jangan sampai potensi itu justru kita sendiri yang membunuhnya. Sudah selayaknya kita becermin dari kasus PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) --sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia-- yang begitu disanjung di luar negeri tetapi dihinadinakan oleh para ekonom bangsa sendiri.

Pelajaran Hidup Dari Warsito Purwo Taruno

Bagi Warsito, hidup adalah perjuangan tanpa henti. Ketekunan, kerja keras, dan disiplin adalah modal dasar dalam upaya mewujudkan cita-cita.

Segalanya tak selalu mulus, karena itu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah.

Kehidupan masa kecil nan pahit tak membuat Warsito menyimpan dendam untuk menimbun harta lewat berbagai hak paten yang didapatnya.

Sebagai peneliti kelas dunia ia tetap punya komitmen penuh sebagai WNI, meski godaan untuk menjadi warga Amerika sempat dihadapinya.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments